STATUS TANAH LABA PURA DI BALI SETELAH KELUARNYA S.K. MENDAGRI NOMOR: 556/DJA/1986
Abstract
Maka terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh persekutuan hukum (Desa Adat/Pekraman), maupun tanah-tanah, hendaknya didaftarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, tentang Pendaftaran Tanah.
Tanah-tanah adat termasuk didalamnya tanah laba pura di Bali hampir semua tidak terdaftar pada Kantor Pendaftaran Tanah untuk mendapatkan kepastian hak dan kepastian hukum bagi pemegangnya, sehingga tanah-tanah tersebut tidak mempunyai sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah. Tanah-tanah tersebut hanya didaftar pada Kantor-kantor Landrete atau pajak bumi, sehingga tanda-tanda bukti yang diberikan adalah tanda bukti pengenaan atau pembayaran pajak bumi berupa pipil/petuk D/Girik. Jadi pendaftaran ini bersifat fiscal kadaster, sedangkan yang kita maksudkan adalah pendaftaran yang diadakan untuk memberikan kepastian hak dan kepastian hukum (rechts kadaster).
Tanah laba pura adalah tanah-tanah yang khusus yaitu tempat untuk mendirikan pura (bangunan suci) dan tanah yang merupakan sumber dana upacara keagamaan dan pemeliharaan pura. Dengan ditunjuknya pura sebagai badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 556/DJA/1986, membawa konsekwensi Yuridis terhadap tanah-tanah laba pura baik mengenai status haknya maupun pendaftarannya. Sekarang statusnya jelas yaitu berstatus hak milik menurut UUPA. Kemudian tanah-tanah laba pura wajib didaftarkan sesuai dengan ketentuan UUPA yo PP No. 24 Tahun 1997, agar memperoleh sertifikat sebagai tanda bukti haknya.